Berapa
lamakah Indonesia di jajah oleh Belanda ?. Pertanyaan ini sering
menjadi pertanyaan sejumlah masyarakat Indonesia. Bahkan ketika aku
masih duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), hal ini
pernah aku tanyakan kepada guru Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
(PSPB). Ketika aku uraikan apakah dimulainya penjajahan Belanda dihitung
sejak mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten pada tahun 1596 atau berdirinya VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie)
pada tahun 1602, sang guru menjawab bahwa penjajahan Belanda di
Indonesia dihitung sejak berdirinya VOC. Jawaban guru ini tidak membuat
aku puas, sebab sepengetahuanku bahwa VOC hanya merupakan sebuah
perserikatan dagang yang memonopoli pembelian rempah-rempah di
Nusantara.
Saat
aku kuliah tahun 1992 lalu, hal yang sama pernah kutanyakan pada Dosen
Mata Kuliah Pancasila yang saat itu juga menerangkan bahwa Indonesia
dijajah Belanda selama 350 tahun. Aku berargumen bahwa Indonesia tidak
selama itu dijajah oleh Belanda. Andaikan dihitung sejak VOC dibentuk,
maka yang dikuasai oleh Belanda saat itu hanyalah perdagangan. Sedangkan
pendidikan dan politik (kerajaan) tetap diperbolehkan.
Sebelum jam mata kuliah ditutup, sang Dosen (saat ini sudah Almarhum)
berpesan agar selesai mata kuliah aku jangan pulang dan harus bertemu
dengan beliau di kantor. Aku sedikit gugup, tapi aku harus temui dan
jelaskan kenapa aku bertahan atas keyakinanku bahwa Indonesia tidak
pernah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun.
Setelah
mengetuk pintu dan mengucapkan salam, aku dipersilahkan duduk oleh Pak
Dosen. Sikapnya yang tenang dan senyumnya yang khas membuat aku tenang. “Kenapa kamu persoalkan masalah berapa lama Indonesia dijajah Belanda ?” katanya memulai pembicaraan.
Setelah menarik nafas, kemudian aku berkata : “Saya
hanya tidak ingin anak bangsa ini dibodoh-bodohi oleh sejarah yang
belum tentu kebenarannya. Diseluruh buku pelajaran sejarah ataupun
Pendidikan Moral Pancasila selalu dituliskan bahwa
Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun atau 3,5 abad tanpa pernah
diuraikan sejak tahun berapa sampai tahun berapa penjajahan itu
sebenarnya”
kataku sambil memberikan ringkasan tahun-tahun masuknya Belanda ke
Indonesia, berdirinya VOC, diserahkannya Indonesia kepada Inggris oleh
Belanda, masuknya Jepang ke Indonesia dan lain-lain.
“Apa sebenarnya yang kamu harapkan tentang hal ini”
kata pak Dosen lagi setelah membaca ringkasan tersebut. Kemudian
kuuraikan bahwa sebagai anak bangsa saya tidak terima atas terjadinya
kebohongan selama ini terhadap generasi demi generasi. Selain itu
kukatakan bahwa suatu kebodohan dan kesalahan besar jika bangsa kita
harus mengakui apa yang tidak kita lakukan atau alami.
“Andaikan
dikarenakan sebuah kesalahan atau saya melakukan perbuatan tindak
pidana sehingga pengadilan menghukum saya dengan hukuman penjara selama 1
tahun, maka saya akan akui kepada siapapun bahwa saya telah dihukum
selama 1 tahun. Bukankah suatu hal yang bodoh ketika saya
keluar dari penjara lalu saya katakan kepada teman-teman bahwa saya
telah dihukum selama 3,5 tahun ? Kenapa saya harus bangga atas
kesalahan, kebodohan dan kelemahan saya” kataku panjang lebar.
Akhirnya
Pak Dosen itu mengakui bahwa dirinya juga baru saat itu terfikir apakah
benar Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. “Lubis, saya akan
pelajari berapa tahun sebenarnya Indonesia dijajah Belanda. Tapi
sebaiknya kamu coba kirim pertanyaan itu ke Majalah Tempo pada rubric
pembaca menulis dan tujukan kepada pakar-pakar Sejarah Indonesia”
katanya menyarankan. Saran pak dosen tersebut kuikuti, seminggu kemudian
kukirim surat pembaca menulis ke majalah Tempo namun entah kenapa
tulisan yang bersifat pertanyaan tersebut tidak pernah diterbitkan. Saat
itu aku hanya berfikiran positif, mungkin suratku tidak sampai.
Analisis Nina Herlina L
Berdasarkan Analisis Nina Herlina L, Guru
Besar Ilmu Sejarah Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang
Jawa Barat/Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fakultas Sastra Unpad http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=14579
Tidak
benar Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Kalau dihitung dari
1596 sampai 1942, jumlahnya 346 tahun. Namun, tahun 1596 itu Belanda
baru datang sebagai pedagang. Itu pun gagal mendapat izin dagang. Tahun
1613-1645, Sultan Agung dari Mataram, adalah raja besar yang menguasai
seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, dan Blambangan. Jadi, tidak bisa
dikatakan Belanda sudah menjajah Pulau Jawa (yang menjadi bagian Indonesia kemudian).
Selama seratus tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda pasca keruntuhan VOC (dengan dipotong masa penjajahan Inggris selama 5 tahun),
Belanda harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara
hingga terciptanya Pax Neerlandica. Namun, demikian hingga akhir abad
ke-19, beberapa kerajaan di Bali, dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan
di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian sebagai negara
bebas (secara hukum internasional)
dengan Belanda. Jangan pula dilupakan hingga sekarang Aceh menolak
disamakan dengan Jawa karena hingga 1912 Aceh adalah kerajaan yang masih
berdaulat. Orang Aceh hanya mau mengakui mereka dijajah 33 tahun saja.”Kesimpulannya, tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar adalah, Belanda memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai seluruh Nusantara” papar Nina Herlina L dalam tulisannya.
Dari analisis logis tersebut, seharusnya pemerintah melalui pakar-pakar sejarah kembali melakukan penelitian dan jika benar bahwa Indonesia tidak pernah dijajah Belanda selama 3,5 abad segera meralat buku-buku pelajaran dan sejarah di Indonesia. Sepintas lalu hal ini mungkin dianggap kecil, namun jika tidak diluruskan tidak tertutup kemungkinan akan dapat merubah image masyarakat terhadap sejarah perjuangan bangsa. Salam.
Selain itu Belanda sesalkan siksa Rakyat Indonesia pasca 17-8-1945, akhirnya mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Belanda pun mengakui tentaranya telah melakukan penyiksaan terhadap
rakyat Indonesia melalui agresi militernya pasca proklamasi.
"Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas terjadinya semuanya ini," begitulah kata Menlu Bernard Bot dalam pidato resminya kepada pemerintah Indonesia yang diwakili Menlu Hassan Wirajuda, di ruang Nusantara, Gedung Deplu, Jl Pejambon, Jakarta Pusat. "Fakta adanya aksi militer merupakan kenyataan sangat pahit bagi rakyat Indonesia. Atas nama pemerintah Belanda saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan ini," kata Menlu Belanda Bernard Bot kepada wartawan dalam pidato kenegaraan tersebut, hari Selasa 16 Agustus 2005.
Bot tidak menyampaikan permintaan maaf secara langsung, hanya berupa bentuk penyesalan. Ketika ditanya mengenai hal ini, Bot menjawab diplomatis. "Ini masalah sensitif bagi kedua negara. Pernyataan ini merupakan bentuk penyesalan yang mendalam. Kami yakin pemerintah Indonesia dapat memahami artinya," kilah Bot.
Bot mengakui, kehadiran dirinya merupakan pertama kali sejak 60 tahun lalu di mana seorang kabinet Belanda hadir dalam perayaan kemerdekaan. "Dengan kehadiran saya ini, pemerintah Belanda secara politik dan moral telah menerima proklamasi yaitu tanggal RI menyatakan kemerdekaannya," tukas pria kelahiran Batavia (Jakarta) ini.
Pasca proklamasi, lanjut Bot, agresi militer Belanda telah menghilangkan nyawa rakyat Indonesia dalam jumlah sangat besar. Bot berharap, meski kenangan tersebut tidak pernah hilang dari ingatan rakyat Indonesia, jangan sampai hal tersebut menjadi penghalang rekonsiliasi antara Indonesia dan Belanda.
Meski menyesali penjajahan itu, Belanda tidak secara resmi menyatakan permintaan maaf. Indonesia pun tidak secara resmi menyatakan memaafkan Belanda atas tiga setengah abad penjajahannya.
Pidato ini dilakukan dalam rangka pesan dari pemerintah Belanda terkait peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 RI. Turut hadir Menlu Hassan Wirajuda, Jubir Deplu Marty Natalegawa, dan sejumlah mantan Menlu. Dari pihak Belanda, hadir Dubes Belanda untuk Indonesia dan disaksikan para Dubes dari negara-negara sahabat.
Menlu Hassan pun hanya mengatakan,"Kami menerima pernyataan penyesalan dari pemerintah Belanda". Saat ditanya apakah dengan menerima penyesalan dari pemerintah Belanda berarti Indonesia memaafkan kejahatan Belanda semasa penjajahan dulu, Hassan tidak membenarkan dan tidak membantahnya. "Kita sudah dengar sendiri dari Menlu Bot. Ini adalah pernyataan yang sensitif. Di Belanda pun untuk menyatakan penyesalan ini menjadi perdebatan sejumlah pihak. Kita harus menghargai sikap Belanda," tutur Hassan.
Acara yang dimulai pukul 19.30 ini berakhir pada pukul 20.15 WIB. Usai menyampaikan pidatonya, kedua Menlu ini saling memotong tumpengan nasi kuning sebagai tanda dimulainya babak baru hubungan Indonesia dan Belanda. (sumber: detikco
Menlu Bot menegaskan, kehadirannya pada upacara Hari Ulang Tahun RI ke-60 dapat dilihat sebagai penerimaan politik dan moral bahwa Indonesia merdeka pada 17-8-1945. Atas nama Belanda, ia juga meminta maaf.
Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot menyampaikan hal itu dalam upacara peringatan berakhirnya pendudukan Jepang di Hindia Belanda, hari Senin 15 Agustus 2005 di kompleks Monumen Hindia Belanda, Den Haag. Pernyataan Bot itu juga disaksikan Ratu Beatrix, yang hadir meletakkan karangan bunga.
Bot secara eksplisit mengungkapkan bahwa sikap dan langkahnya tersebut telah mendapat dukungan kabinet. "Saya dengan dukungan kabinet akan menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa di Belanda ada kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia de facto telah dimulai 17-8-1945 dan bahwa kita 60 tahun setelah itu, dalam pengertian politik dan moral, telah menerima dengan lapang dada," demikian Bot.
Pengakuan secara resmi soal kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945 selama ini sulit diterima para veteran, sebab mereka ketika itu setelah tanggal tersebut dikerahkan untuk melakukan Agresi Militer. Baru kemudian pada 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia secara resmi diteken.
Menurut menteri yang lahir pada 21 November 1937 di Batavia (kini Jakarta), itu sikap menerima tanggal kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945 dalam pengertian moral juga berarti bahwa dirinya ikut mendukung ungkapan penyesalan mengenai perpisahan Indonesia-Belanda yang menyakitkan dan penuh kekerasan. "Hampir 6.000 militer Belanda gugur dalam pertempuran, banyak yang cacat atau menjadi korban trauma psikologis. Akibat pengerahan militer skala besar-besaran, negeri kita juga sepertinya berdiri pada sisi sejarah yang salah. Ini sungguh kurang mengenakkan bagi pihak-pihak yang terlibat," tandas Bot.
Doktor hukum lulusan Harvard Law School itu melukiskan berlikunya pengakuan seputar tanggal kemerdekaan dan hubungan Belanda-Indonesia itu seperti orang mendaki gunung. "Baru setelah seseorang berdiri di puncak gunung, orang dapat melihat mana jalan tersederhana dan tersingkat untuk menuju ke puncak. Hal seperti itu juga berlaku bagi mereka yang terlibat pengambilan keputusan pada tahun 40-an. Baru belakangan terlihat bahwa perpisahan Indonesia-Belanda terlalu berlarut-larut dan dengan diiringi banyak kekerasan militer melebihi seharusnya. Untuk itu saya atas nama pemerintah Belanda akan menyampaikan permohonan maaf di Jakarta," tekad Bot.
"Dalam hal ini saya mengharapkan pengertian dan dukungan dari masyarakat Hindia (angkatan Hindia Belanda), masyarakat Maluku di Belanda dan para veteran Aksi Polisionil," demikian Bot.
"Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas terjadinya semuanya ini," begitulah kata Menlu Bernard Bot dalam pidato resminya kepada pemerintah Indonesia yang diwakili Menlu Hassan Wirajuda, di ruang Nusantara, Gedung Deplu, Jl Pejambon, Jakarta Pusat. "Fakta adanya aksi militer merupakan kenyataan sangat pahit bagi rakyat Indonesia. Atas nama pemerintah Belanda saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan ini," kata Menlu Belanda Bernard Bot kepada wartawan dalam pidato kenegaraan tersebut, hari Selasa 16 Agustus 2005.
Bot tidak menyampaikan permintaan maaf secara langsung, hanya berupa bentuk penyesalan. Ketika ditanya mengenai hal ini, Bot menjawab diplomatis. "Ini masalah sensitif bagi kedua negara. Pernyataan ini merupakan bentuk penyesalan yang mendalam. Kami yakin pemerintah Indonesia dapat memahami artinya," kilah Bot.
Bot mengakui, kehadiran dirinya merupakan pertama kali sejak 60 tahun lalu di mana seorang kabinet Belanda hadir dalam perayaan kemerdekaan. "Dengan kehadiran saya ini, pemerintah Belanda secara politik dan moral telah menerima proklamasi yaitu tanggal RI menyatakan kemerdekaannya," tukas pria kelahiran Batavia (Jakarta) ini.
Pasca proklamasi, lanjut Bot, agresi militer Belanda telah menghilangkan nyawa rakyat Indonesia dalam jumlah sangat besar. Bot berharap, meski kenangan tersebut tidak pernah hilang dari ingatan rakyat Indonesia, jangan sampai hal tersebut menjadi penghalang rekonsiliasi antara Indonesia dan Belanda.
Meski menyesali penjajahan itu, Belanda tidak secara resmi menyatakan permintaan maaf. Indonesia pun tidak secara resmi menyatakan memaafkan Belanda atas tiga setengah abad penjajahannya.
Pidato ini dilakukan dalam rangka pesan dari pemerintah Belanda terkait peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 RI. Turut hadir Menlu Hassan Wirajuda, Jubir Deplu Marty Natalegawa, dan sejumlah mantan Menlu. Dari pihak Belanda, hadir Dubes Belanda untuk Indonesia dan disaksikan para Dubes dari negara-negara sahabat.
Menlu Hassan pun hanya mengatakan,"Kami menerima pernyataan penyesalan dari pemerintah Belanda". Saat ditanya apakah dengan menerima penyesalan dari pemerintah Belanda berarti Indonesia memaafkan kejahatan Belanda semasa penjajahan dulu, Hassan tidak membenarkan dan tidak membantahnya. "Kita sudah dengar sendiri dari Menlu Bot. Ini adalah pernyataan yang sensitif. Di Belanda pun untuk menyatakan penyesalan ini menjadi perdebatan sejumlah pihak. Kita harus menghargai sikap Belanda," tutur Hassan.
Acara yang dimulai pukul 19.30 ini berakhir pada pukul 20.15 WIB. Usai menyampaikan pidatonya, kedua Menlu ini saling memotong tumpengan nasi kuning sebagai tanda dimulainya babak baru hubungan Indonesia dan Belanda. (sumber: detikco
Menlu Bot menegaskan, kehadirannya pada upacara Hari Ulang Tahun RI ke-60 dapat dilihat sebagai penerimaan politik dan moral bahwa Indonesia merdeka pada 17-8-1945. Atas nama Belanda, ia juga meminta maaf.
Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot menyampaikan hal itu dalam upacara peringatan berakhirnya pendudukan Jepang di Hindia Belanda, hari Senin 15 Agustus 2005 di kompleks Monumen Hindia Belanda, Den Haag. Pernyataan Bot itu juga disaksikan Ratu Beatrix, yang hadir meletakkan karangan bunga.
Bot secara eksplisit mengungkapkan bahwa sikap dan langkahnya tersebut telah mendapat dukungan kabinet. "Saya dengan dukungan kabinet akan menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa di Belanda ada kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia de facto telah dimulai 17-8-1945 dan bahwa kita 60 tahun setelah itu, dalam pengertian politik dan moral, telah menerima dengan lapang dada," demikian Bot.
Pengakuan secara resmi soal kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945 selama ini sulit diterima para veteran, sebab mereka ketika itu setelah tanggal tersebut dikerahkan untuk melakukan Agresi Militer. Baru kemudian pada 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia secara resmi diteken.
Menurut menteri yang lahir pada 21 November 1937 di Batavia (kini Jakarta), itu sikap menerima tanggal kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945 dalam pengertian moral juga berarti bahwa dirinya ikut mendukung ungkapan penyesalan mengenai perpisahan Indonesia-Belanda yang menyakitkan dan penuh kekerasan. "Hampir 6.000 militer Belanda gugur dalam pertempuran, banyak yang cacat atau menjadi korban trauma psikologis. Akibat pengerahan militer skala besar-besaran, negeri kita juga sepertinya berdiri pada sisi sejarah yang salah. Ini sungguh kurang mengenakkan bagi pihak-pihak yang terlibat," tandas Bot.
Doktor hukum lulusan Harvard Law School itu melukiskan berlikunya pengakuan seputar tanggal kemerdekaan dan hubungan Belanda-Indonesia itu seperti orang mendaki gunung. "Baru setelah seseorang berdiri di puncak gunung, orang dapat melihat mana jalan tersederhana dan tersingkat untuk menuju ke puncak. Hal seperti itu juga berlaku bagi mereka yang terlibat pengambilan keputusan pada tahun 40-an. Baru belakangan terlihat bahwa perpisahan Indonesia-Belanda terlalu berlarut-larut dan dengan diiringi banyak kekerasan militer melebihi seharusnya. Untuk itu saya atas nama pemerintah Belanda akan menyampaikan permohonan maaf di Jakarta," tekad Bot.
"Dalam hal ini saya mengharapkan pengertian dan dukungan dari masyarakat Hindia (angkatan Hindia Belanda), masyarakat Maluku di Belanda dan para veteran Aksi Polisionil," demikian Bot.
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pengakuan ini baru dilakukan pada 16 Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, oleh Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot dalam pidato resminya di Gedung Deplu. Pada kesempatan itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menlu Hassan Wirajuda. Keesokan harinya, Bot juga menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta. Langkah Bot ini mendobrak tabu dan merupakan yang pertama kali dalam sejarah.
Pada 4 September 2008, juga untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, menghadiri Peringatan HUT Kemerdekaan RI. Balkenende menghadiri resepsi diplomatik HUT Kemerdekaan RI ke-63 yang digelar oleh KBRI Belanda di Wisma Duta, Den Haag. Kehadirannya didampingi oleh para menteri utama Kabinet Balkenende IV, antara lain Menteri Luar Negeri Maxime Jacques Marcel Verhagen, Menteri Yustisi Ernst Maurits Henricus Hirsch Ballin, Menteri Pertahanan Eimert van Middelkoop, dan para pejabat tinggi kementerian luar negeri, parlemen, serta para mantan Duta Besar Belanda untuk Indonesia.[1]
Selama hampir 60 tahun, Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (agresi militer) pada 1945-1949 adalah ilegal.
Sebelumnya, pada tahun 1995, Ratu Beatrix sempat ingin menghadiri Peringatan Hari Ulang Tahun RI ke-50. Tapi keinginan ini ditentang PM Wim Kok. Akhirnya Beatrix terpaksa mampir di Singapura dan baru memasuki Indonesia beberapa hari setelah peringatan proklamasi.
Pada 4 September 2008, juga untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, menghadiri Peringatan HUT Kemerdekaan RI. Balkenende menghadiri resepsi diplomatik HUT Kemerdekaan RI ke-63 yang digelar oleh KBRI Belanda di Wisma Duta, Den Haag. Kehadirannya didampingi oleh para menteri utama Kabinet Balkenende IV, antara lain Menteri Luar Negeri Maxime Jacques Marcel Verhagen, Menteri Yustisi Ernst Maurits Henricus Hirsch Ballin, Menteri Pertahanan Eimert van Middelkoop, dan para pejabat tinggi kementerian luar negeri, parlemen, serta para mantan Duta Besar Belanda untuk Indonesia.[1]
Selama hampir 60 tahun, Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (agresi militer) pada 1945-1949 adalah ilegal.
Sebelumnya, pada tahun 1995, Ratu Beatrix sempat ingin menghadiri Peringatan Hari Ulang Tahun RI ke-50. Tapi keinginan ini ditentang PM Wim Kok. Akhirnya Beatrix terpaksa mampir di Singapura dan baru memasuki Indonesia beberapa hari setelah peringatan proklamasi.
Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Sampai kini terhitung sudah 63 tahun kita merdeka. Setiap
bulan Agustus, dari awal bulan sudah mulai dilaksanakan perayaan
Agustusan untuk memperingati Kemerdekaan. Biasanya, perayaan Agustusan
itu dimeriahkan dengan Lomba Panjat Pinang, Makan Kerupuk, Lari paka
karung goni dan konco-konconya. Selain itu juga dimeriahkan dengan aneka
pertunjukan seni. Mungkin, ini juga merupakan gambaran dari kondisi
Indonesia saat ini. Belum ada hasil karya teknologi yang benar-benar
bisa dibanggakan di tingkat dunia.
Secara fisik. kita memang sudah merdeka, tapi apakah sudah merdeka secara keseluruhan? Yang terjadi adalah saat ini ada beberapa Bank nasional yang saham mayoritasnya dibeli oleh asing. Perangkat elektronik hampir semuanya juga masih impor dari asing. Industri telekomunikasi mayoritas sahamnya juga dimiliki asing. Mulai dari Indosat, Telkomsel, XL, 3, Axis mayoritas milik perusahaan asing. Intinya, hampir semua bisnis yang strategis di negeri ini dikuasai oleh asing.
Mungkin kita perlu mencontoh bangsa lain seperti India yang cukup bangga atas produk dalam negerinya. Merekapun cukup diperhitungkan untuk urusan teknologi. Ahh, tapi ini adalah isu basi. Permasalahan yang sudah ada sejak lama.
Kita memang perlu menjadi bangsa yang mandiri. Mulai belajar tidak tergantung dengan bangsa lain.
Kita juga perlu belajar dari negara Jepang yang masyarakatnya sangat keranjingan membaca. Menjadikan mereka sebagai bangsa yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi dengan beragam teknologi canggih yang dihasilkan. Tidak salah jika ada yang menyebut bahwa “Buku Adalah Jendela Dunia”. karena dari buku, lautan ilmu bisa kita selami.
Sayangnya, harga buku di tanah air masih tergolong mahal. Banyak yang menjadikan buku sebagai prioritas paling akhir setelah beras, minyak, pakaian, bensin dan sebagainya yang merupakan kebutuhan Primer. Padahal buku sejatinya adalah makanan, makanan otak dan hati. Seharusnya dimasukkan juga dalam kebutuhan primer, tapi apa daya.
Nah, mungkin sebagian dari kita memiliki beberapa buku yang layak baca. Daripada tersimpan di kolong meja dimakan rayap, mengapa tidak disumbangkan saja ke dalam Gerakan Blogger Kumpul 1000 Buku?
Tentu dari hal-hal kecil seperti ini, kita berharap bisa menghasilkan sesuatu yang besar bagi perubahan bangsa ini.
Semoga bangsa kita memiliki masa depan cerah, produktif menghasilkan karya-karya yang bisa dibanggakan, minimal bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Ketergantungan terhadap bangsa lain, sedikit demi sedikit bisa terkikis.
Secara fisik. kita memang sudah merdeka, tapi apakah sudah merdeka secara keseluruhan? Yang terjadi adalah saat ini ada beberapa Bank nasional yang saham mayoritasnya dibeli oleh asing. Perangkat elektronik hampir semuanya juga masih impor dari asing. Industri telekomunikasi mayoritas sahamnya juga dimiliki asing. Mulai dari Indosat, Telkomsel, XL, 3, Axis mayoritas milik perusahaan asing. Intinya, hampir semua bisnis yang strategis di negeri ini dikuasai oleh asing.
Mungkin kita perlu mencontoh bangsa lain seperti India yang cukup bangga atas produk dalam negerinya. Merekapun cukup diperhitungkan untuk urusan teknologi. Ahh, tapi ini adalah isu basi. Permasalahan yang sudah ada sejak lama.
Kita memang perlu menjadi bangsa yang mandiri. Mulai belajar tidak tergantung dengan bangsa lain.
Kita juga perlu belajar dari negara Jepang yang masyarakatnya sangat keranjingan membaca. Menjadikan mereka sebagai bangsa yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi dengan beragam teknologi canggih yang dihasilkan. Tidak salah jika ada yang menyebut bahwa “Buku Adalah Jendela Dunia”. karena dari buku, lautan ilmu bisa kita selami.
Sayangnya, harga buku di tanah air masih tergolong mahal. Banyak yang menjadikan buku sebagai prioritas paling akhir setelah beras, minyak, pakaian, bensin dan sebagainya yang merupakan kebutuhan Primer. Padahal buku sejatinya adalah makanan, makanan otak dan hati. Seharusnya dimasukkan juga dalam kebutuhan primer, tapi apa daya.
Nah, mungkin sebagian dari kita memiliki beberapa buku yang layak baca. Daripada tersimpan di kolong meja dimakan rayap, mengapa tidak disumbangkan saja ke dalam Gerakan Blogger Kumpul 1000 Buku?
Tentu dari hal-hal kecil seperti ini, kita berharap bisa menghasilkan sesuatu yang besar bagi perubahan bangsa ini.
Semoga bangsa kita memiliki masa depan cerah, produktif menghasilkan karya-karya yang bisa dibanggakan, minimal bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Ketergantungan terhadap bangsa lain, sedikit demi sedikit bisa terkikis.
seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis
memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya,
masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium,
dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set
nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi
lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi,
atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu. Sekalipun
demikian, banyak seniman mendapat pengaruh dari orang lain masa lalu,
dan juga beberapa garis pedoman sudah muncul untuk mengungkap gagasan
tertentu lewat simbolisme dan bentuk (seperti bakung yang bermaksud
kematian dan mawar merah yang bermaksud cinta).
Kata "Indonesia" berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu Indus yang berarti "India" dan kata dalam bahasa Yunani nesos yang berarti "pulau".[4] Jadi, kata Indonesia berarti wilayah
India kepulauan, atau kepulauan yang berada di India, yang menunjukkan
bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara
berdaulat.[5] Pada tahun 1850, George Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris, awalnya mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk "Kepulauan India atau Kepulauan Melayu".[6] Murid dari Earl, James Richardson Logan, menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India.[7] Namun, penulisan akademik Belanda di media Hindia Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indiƫ), atau Hindia (Indiƫ); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 oleh novel Max Havelaar (1859), ditulis oleh Multatuli, mengenai kritik terhadap kolonialisme Belanda).[8]
Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkaran akademik diluar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik.[9] Adolf Bastian dari Universitas Berlin mempopulerkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894. Pelajar Indonesia pertama yang mengunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yaitu ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers-bureau di tahun 1913
Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkaran akademik diluar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik.[9] Adolf Bastian dari Universitas Berlin mempopulerkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894. Pelajar Indonesia pertama yang mengunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yaitu ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers-bureau di tahun 1913
0 komentar:
Posting Komentar